oleh EDDIJ SOEBAGIJO, S.T 181220 – Jumat, 27 April 2018, 21:26

Kita semua sepakat, bahwa pendidikan itu penting, sehingga semua kita mau berkorban demi pendidikan. Orang-orang tua bekerja keras mencari uang agar anak-anaknya bisa sekolah, pemerintah mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk pendidikan, dan anak-anak pun harus berjuang untuk belajar dan ada yang harus tinggal jauh dari orang tua.

Di Negara kita, anak-anak sekolah di SD selama 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, dan ada yang kuliah S1 4-5 tahun. Artinya tak kurang 16 tahun, bahkan ada yang lebih menghabiskan umur untuk sekolah. Dan sebagian besar dari kita semua pernah sekolah, juga pernah merasakan senang dan susah. Dulu, kita belajar dengan giat, tugas dan PR cukuplah berat, dan kita khawatir tidak naik kelas apalagi sampai tidak tamat.

Pertanyaannya sekarang, apa saja pelajaran yang masih kita ingat?, Apa kita masih ingat tentang materi pelajaran biologi di SMP?, atau matematika di SMA?. Serta materi pelajaran sekolah apa yang sampai saat ini masih kita gunakan? Persamaan kuadrat atau persamaan eksponen? Masalah Kromosom XX atau Heterozigot?

Faktanya, anak-anak sekolah cukup banyak menghabiskan waktu seperti kita dulu. Anak-anak belajar hal-hal yang tidak pernah akan digunakan dalam kehidupannya. Hanya beberapa pelajaran yang relevan dan masih berhubungan dengan kehidupannya saat dewasa.

Rumus fisika, kimia, matematika, dan pelajaran biologi, geografi, akuntansi, sosiologi, PPKN, dan lain-lainnya. Itu semua sebagian besar seperti sejarah saja, artinya kita punya sejarah pernah belajar pelajaran tersebut, walaupun sekarang kita tidak pernah pakai atau sudah lupa. Malah pelajaran sejarah sendiri pun menjadi sejarah. 🙂

Belum lagi pelajaran bahasa Inggris, minimal kita semua telah belajar bahasa ini selama 6 tahun (SMP dan SMA), ada juga yang sudah mulai belajar dari SD. Jangankan untuk menulis surat atau artikel dalam bahasa Inggris, merayu dengan dua kalimat saja kita masih belepotan. 🙂

Ini bukan karena guru kita dahulu tidak bisa mengajar, malah pengalaman dan ilmu mereka tak kita ragukan. Namun ada yang salah dalam sistem pendidikan kita, yang membuat banyak pelajaran sekolah menjadi sejarah saja, dan ini berlaku di seluruh Indonesia, bukan hanya di daerah kita.

Kita sekolah lebih 16 tahun lamanya, terkesan itu seperti sia-sia. Malah yang lebih menyedihkan lagi, pendidikan kita merupakan mesin pencetak pengangguran.

Padahal untuk pendidikan anaknya, orang tua di kampung-kampung menjual tanah, ternak atau harta lainnya, dan ada yang berhutang pada siapa saja, demi memenuhi biaya pendidikan anaknya. Orang tua berharap anaknya akan mendapat kehidupan yang lebih baik dan sukses, bukan seperti dirinya.

Namun apa yang terjadi, sistem pendidikan kita belum mampu menawarkan ijazah yang membuat pemiliknya kreatif dan inovatif dalam menghadapi tantangan jaman. Sistem pendidikan kita masih menawarkan ijazah dengan kemampuan menjadi pegawai atau karyawan. Sedangkan yang menjadi Bos-nya adalah orang-orang yang tidak mempedulikan ijazah produk sistem pendidikan kita. Mereka sukses karena mencari alternatif dan menjadi orang-orang yang kreatif. 

—————–

Hakikatnya sekolah-sekolah melahirkan manusia yang terdidik, manusia-manusia yang akan menghadapi masa depan, dengan segala kompleksitas dan permasalahannya.

Faktanya, sistem pendididkan hanya memberikan ijazah akademik, namun tidak memiliki kemampuan pemecahan masalah dan pengembangan kreativitas dalam menghadapi hidup dan tantangan masa depan, sistem pendidikan kita hanya mempersiapkan alumninya sebagai calon pegawai atau karyawan. Sedangkan yang menjadi Bos-nya adalah orang-orang yang tidak mempedulikan izajah, mereka adalah orang-orang kreatif dan keluar dari pola pendidikan yang kaku.

Sayangnya, penerimaan pegawai negeri terbatas tiap tahunnya, sedangkan orang-orang kreatif dan yang berpikir tidak biasa, atau orang-orang kreatif yang mampu membuka lapangan-lapangan pekerjaan terbatas jumlahnya. Sehingga para sarjana dan alumni sekolah-sekolah (SMA dan SMK) banyak menganggur dan tidak mendapat kerja.

Apa masalahnya pada sistem pendidikan kita? Sekolah lama-lama dan tinggi-tinggi tapi tak dapat kerja, padahal orang-orang tua miskin di kampung-kampung menyekolahkan anaknya agar bisa hidup baik tidak seperti dirinya, sehingga menjual apa saja dan membuatnya menjadi lebih merana.

Dilain sisi, pelajaran di sekolah sangat jarang berguna pada kehidupan anak-anak saat dewasa, pelajaran matematika, fisika, biologi, dan pelajaran lainnya hanya menjadi sejarah saja, belajar susah payah tapi mereka tidak tau untuk apa. Setelah mendapat ijazah juga tak mendapatkan kerja.

Anak-anak juga berkorban sangat luar biasa, mereka butuh belaian kasih sayang orang tua. Setiap menit sangat lah berharga. Namun karena harus sekolah terpaksa harus berpisah.

Ingatkah kita, mengapa anak-anak pada hari pertama melangkahkan kaki masuk sekolah anak-anak menangis?

Itu karena anak-anak tau dia akan terpisah dengan orangtuanya dan tak lagi bisa selalu bersama. Anak-anak perlu selalu belaian cinta dan kasih sayang orang tua.

Ini pengorbanan yang mahal bagi anak-anak, maka tak adil rasanya jika pengorbanan ini tidak sebanding dengan apa yang didapatnya dari sistem pendidikan kita.

Belum lagi, jika jenjang sekolah semakin tinggi. Maka anak-anak harus pergi untuk sekolah atau kuliah dengan hidup mandiri.

Banyak masalah yang harus ditanggungnya sendiri, mulai masalah beban belajar yang tinggi, jika sakit harus bangun cari obat sendiri, jika lapar makan indomi, ingin makan enak saat mimpi atau ada yang undang kenduri. 🙂

Artinya, kita semua berkorban untuk mendapatkan pendidikan agar cerah masa depan, namun lihat sistem pendidikan kita. Apakah telah memberikan tawaran masa depan yang cerah, atau semakin membuat orang tua resah!

Ini sangat tidak adil bagi masyarakat kita, menteri dan para politisi menyusun kebijakan pendidikan kita tak sekalipun pernah mengajar di sekolah-sekolah. Tapi mereka yang menentukan pendidikan kita mau dibawa kemana.

Para menteri dan politisi membahas kebijakan pendidikan di hotel dan gedung-gedung yang tinggi, tapi anak-anak pergi ke sekolah tanpa alas kaki, kurikulum yang mereka buat salah tapi guru-guru yang dicaci maki,  dianggap tidak mampu dan tak punya kompetensi. Kurikulum kita selalu berganti jika ganti menteri, guru-guru di sekolah belum tuntas mempelajari dan menerapkan kurikulum baru, tiba-tiba keluar lagi kurikulum yang lebih baru, yang disahkan oleh menteri baru. Sistem pendidikan kita coba-coba tanpa jelas visi dan orientasinya. 

Dipedalaman, guru sejarah harus mengajar geografi, dan guru PPKN mengajar biologi.  Sekolah-sekolah dikota mengejar prestasi, sedangkan sekolah di kampung dan pedalaman tak terpeduli.

Kita tak perlu lah membandingkan sistem pendidikan kita dengan sistem pendidikan di Finlandia, walaupun para pejabat pendidikan sering kesana. Karena pada dasarnya kita berbeda dan kita mampu seperti mereka asalkan pemangku kebijakan mau membuka mata dan telinga.

Apa yang perlu kita perbaiki? Agar pelajaran-pelajaran di sekolah lebih berarti. Materi matematika, fisika, geografi, akuntansi dan lainnya tidak semata-mata menjadi sejarah saja, bahwa kita pernah belajar materi itu tapi sekarang dipakai lagi dan sudah lupa.

Dan apa yang perlu kita benahi agar sekolah-sekolah dan universitas tak lagi melahirkan para pencari kerja, yang akhirnya pengangguran dimana-mana.

——————

Seperti sudah saya tulis sebelumnya, anak-anak belajar di sekolah cukuplah lama, tak kurang 16 tahun menghabiskan waktu untuk sekolah. Namun faktanya, pelajaran di sekolah dulu tak pernah digunakan untuk kehidupannya saat sudah dewasa, sehingga terkesan kurang bermakna.

Belum lagi, orang-orang tua di kampung-kampung terutama yang miskin, menyekolahkan anaknya dengan bersusah payah, dengan harapan orang tua anaknya bisa sukses dan mempunyai masa depan yang cerah. Namun setelah selesai sekolah/kuliah tak mendapatkan apa-apa dan sulit mencari kerja.

Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Padahal pelajaran di sekolah dan di universitas cukup lah susah, tapi tak menjamin masa depan yang cerah.

Kita memang tak bisa menutup mata, bahwa sistem penerimaan calon mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Negara ini melalui tes kemampuan akademik.

Soal-soal SMPTN sangatlah sulit, sehingga anak-anak belajar dengan giatnya, semua belajar keras agar dapat lulus diperguruan tinggi sesuai keinginannya.

Setelah semuanya itu selesai, maka pelajaran-pelajaran di sekolah hanya lah menjadi sejarah. Bagi yang melanjutkan kuliah maka ada beberapa mata pelajaran yang menjadi dasar pengembangan ilmu selanjutnya. Sedangkan bagi yang berhenti melanjutkan studi, hanya pelajaran agama lah yang terus mendampingi perjalanan hidupnya.

Artinya, begitu banyak pelajaran yang kemudian tidak punya makna apa-apa untuk menunjang kehidupan anak-anak saat dia dewasa.

Seharusnya sistem pendidikan kita bagaimana? Atau apa solusinya?

Kalau kita menyadari bahwa orang-orang yang sukses dalam hidupnya saat dewasa adalah orang-orang yang berpikir kreatif, bernalar logis, sistematis dan kritis, memiliki jiwa inovasi, mampu menyelesaikan masalah, dan tak mudah menyerah.

Lalu mengapa pelajaran-pelajaran di sekolah tidak maksimal melakukan pendekatan pembelajaran yang menguatkan hal ini. Sekolah-sekolah kita masih saja menerapkan sistem pendidikan Bihavioris. Masuk ke kelas harus dengan rapi, duduk diam dan teratur seperti ABRI. Anak-anak menghapal begitu banyak pelajaran, latihan menjawab soal-soal, memiliki tugas atau PR setiap mata pelajaran. Padahal, suatu saat mereka tidak pernah gunakan itu semua untuk hidupnya.

Pada sisi lain, kurikulum kita memang sudah berubah, namun guru di sekolah terpaksa taat aturan yang semakin susah, mengejar target kurikulum yang telah ditetapkan, sehingga kreativitas guru hanya sekedar jadi harapan.

Memang kurikulum kita sudah berubah, namun pelaksanaannya bagaimana? Setiap hari guru matematika, fisika dan kimia mengajar dengan pola yang sama, menuliskan judul materi pelajaran dipapan, membuat rumus-rumus kemudian dijelaskan, selanjutnya memberi contoh-contoh soal sebagai panduan, dan memberikan latihan yang harus dikerjakan. Kebiasaannya, contohnya mudah dan latihannya sulit, sehingg siswa menjerit. 🙂

Guru-guru ekonomi, geografi, PPKN, sosiologi, dan sejarah, mengajar dengan materi dengan metode ceramah.  Kemudian meminta anak-anak menuliskan catatan, agar materi bisa dihapalkan. Setiap ujian tiba, lain yang siswa hapalkan, lain pula soal yang keluar, 🙂 mungkin terlalu banyak materi yang harus dikuasai dan tak mampu dihapal semua!

Namun itu dulu, saat kurikulum kita masih menganut faham Bihaviorsme, dimana anak-anak belajar harus diberi latihan banyak-banyak (drill), guru mendominasi kelas, pembelajaran satu arah dengan ceramah. Sekarang pelan-pelan sudah berubah.

Mulai tahun 2004 kurikulum di Indonesia berubah menganut faham Konstruktivisme, kurikulum ini dinamakan KBK, kemudian berubah nama menjadi kurikulum 2006 (KTSP), dan saat ini berubah lagi menjadi Kurikulum 2013 (K13)

Kurikulum yang menganut faham Konstruktivisme sejak 2004, kemudian merubah paradigma pembelajaran di sekolah. Guru tidak boleh lagi mengajar hanya dengan cermah, namun dengan model/pendekatan/strategi pembelajaran yang bervariasi, anak-anak belajar diajak untuk membangun (meng-konstruk) sendiri pemahamannya, guru berfungsi sebagai fasilitator yang memfasilitasi anak-anak untuk belajar.

Kurikulum ini menjadi kontroversi, banyak yang menentang karena dianggap merepotkan, serta ada yang menganggap kita belum siap seperti di negara-negara barat.

Selain itu, pelatihan kurikulum baru tidak merata dan tidak semua guru mendapatkannya, dan guru yang telah dilatih pun tidak semuanya tuntas memahaminya, apalagi kurikulum K13 yang tolak-tarik pelaksanaan, Menteri Pendididkan M. Nuh menggagasnya, kemudian Anis membatalkan, dan Anis pula yang menerapkannya kembali. Kemudian dilanjutkan oleh menteri selanjutnya.

Dengan kurikulum baru ini, apakah menjadi penyelesaian masalah? Faktanya belum dan begitu banyak kendala!

Seperti tulisan diawal, pelajaran-pelajaran yang banyak dan padat belum memberikan makna apa-apa, selain nilai-nilai akademik yang menjadi targetnya, walaupun sudah mulai memperhatikan keseimbangan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa, namun masih jauh dari harapan.

Jauh dari itu semua, seharusnya kita terus implementasi dalam mendorong anak-anak tumbuh kreatif, bernalar logis dan kritis dengan menekan pada pembelajaran berbasis pemecahan masalah, sehingga anak-anak akan tumbuh sebagai orang-orang dewasa yang kreatif, inovatif dan tak mudah putus asa. 

Nanti suatu saat, anak-anak sudah dewasa, walaupun tidak ingat atau lupa tentang materi-materi pelajarannya, namun dengan materi-materi itulah anak-anak dibiasakan berpikir kreatif dan inovatif. Sehingga tidak ada yang terkesan sia-sia. Karena selain anak-anak kita mampu menguasai materi pelajaran untuk menghadapi jenjang pendidikan yang lebih tinggi, namun juga punya makna untuk masa dewasanya, sehingga pelajaran tidak menjadi sejarah-sejarah tanpa makna.

Mengapa membangun jiwa kreatif dan inovatif itu penting?. Karena pada dasarnya, semua anak-anak tumbuh-besar dengan memiliki kemampuan kreativitas dan inovasi yang baik.

Lihatlah anak-anak kecil, bermain dengan apa saja. Ranting pohon dijadikan pistol atau senjata, kotak-kotak kecil bekas makanan dijadikan mobil-mobilan, dan pasir atau tanah dijadikan tempat lintasan. Anak-anak membuat bermacam-macam inovasi dalam kehidupan masa kecilnya.

Sayangnya, saat anak masuk sekolah kreativitas dan jiwa inovasi semakin hari semakin hilang, anak tumbuh menjadi orang-orang yang prosudural, anak-anak sibuk menghapal macam-macam pelajaran.

Anak-anak diajarkan meniru cara guru menyelesaikan soal-soal atau permasalahan, sehingga menjadi manusia-manusia peniru dalam penyelesaian masalah. Lihatlah, guru memberikan contoh soal dan anak-anak menyelesaikan soal dengan melihat contoh yang sudah dibuat oleh guru. Sehingga jiwa kreatif anak-anak pelan-pelan hilang dan pudar.

Maka tak heran, jika kelak sudah dewasa dan menjadi pejabat dan politisi, lebih suka studi banding ke luar negeri. Lebih suka mencontoh daripada berinovasi sendiri.

Sebagai penutup tulisan ini, sebenarnya kurikulum kita jauh sudah lebih baik daripada kurikulum 1994 dan sebelumnya, yang masih menganut faham Bihaviorsme, hanya saja perlu komitmen kita bersama terutama pemangku kebijakan agar kurikulum yang dikeluarkan tidak kontra produktif dilapangan, dengan memasang target-target yang membuat anak-anak semakin hilang jiwa kreativitas dan inovasinya. Sehingga pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dari pada hasil bukan isapan jempol semata. 

Kelak saat anak-anak dewasa, selain memiliki kemampuan akademik dan intelektual yang baik, namun juga memiliki mental yang kreatif, dan tak mudah menyerah pada keadaan.

Sehingga kedepan lahir generasi-generasi yang tidak hanya ingin mencari pekerjaan, namun juga bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain.

Semoga ADA PERUBAHAN….!